BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Beberapa ulama
besar yg membawa pembaharuan Islam di Indonesia di akhir tahun 1800-an dan awal
tahun 1900 Masehi tidak hanya belajar di Indonesia saja, tetapi mereka belajar
bertahun-tahun di Mekah.
Tercatat dalam sejarah
bahwa para ulama2 pembaharu tersebut ternyata belajar juga pada salah seorang
guru, yang merupakan juga seorang yg berasal dari Indonesia dan merupakan Imam
Masjidil Haram pada saat itu. Beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Dan Seperti yang kita ketahui selama ini bahwa proses perkembangan Islam di
Indonesia melewati berbagai zaman yang di antaranya seperti zaman rosul dan
sahabat, zaman dinasti Abbasiyah, zaman dinasti Uma’iyah, pada masa Orde lama,
dan juga pada zaman Kemal At-Tattur di Turki. Dan yang paling berpengaruh dan
dikenal di pulau Jawa yaitu sejarah tentang peradaban Islam pada masa
walisongo.
Walisongo mempunyai peranan penting dalam proses peradaban islam di tanah
jawa, karena kebudayaan-kebudayaan Hindu Budha telah berhasil di adaptasikan
dan di interprestasikan menjadi budaya islam, tentunya tidak menyimpang dari
Islam sendiri, dan yang pasti dapat menjadi hiburan untuk masyarakat.Bahkan hingga
kini masih sering kita dengar tembang-tembang dari tokoh walisongo.
B. RUMUSAN MASALAH
1. bagaimana
sejarah tentang ulama awal di indonesia?
2. Bagaimana
peranan Walisongo dalam penyebaran agama islam ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang sejarah ulama awal di indonesia
2. untuk dapat
mengetahui bagaimana peradaban islam di indonesia khususnya di tanah jawa pada
masa walisongo.
D. MANFAAT
PEMBAHASA
Adapun manfaat yang
diharapkan adalah makalah ini dapat menambah wawasan untuk penulis dan pembaca
serta dapat memberikan dan menambah
pengetahuan tentang beberapa hal yang menyangkut”peranan ulama dalam dakwah islam di
indonesia” dari mata kuliah”Aswaja An Nadliyah”.Semoga pengetahuan yang diperoleh
benar-benar menjadi jendela ilmu untuk kita.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. ULAMA AWAL DI INDONESIA
Proses penyebaran
Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama.
Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di
antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh,
tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia
sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan
pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak
guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab
yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih
As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati
(Damaskus), dan lain sebagainya.
Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal
dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia
dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang
sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul
Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia
dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang
agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal,
ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat.
Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap disana
kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman
An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di
Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu
ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal
pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para
pemuda di wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau
tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia
berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897
M/1314 H.
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai
babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah
Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia
Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan
ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van
Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin
Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak,
yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama
dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan
Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden
Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang,
Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya
pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek
yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia,
Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di
desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang
betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap
merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh
Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang
dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal
ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan
bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil
perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW
umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa
ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih,
Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau
berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan
meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim
as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali
Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam
Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah
(Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari
riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia
berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat
mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat
makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain.
Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang
menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun
juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren
Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa
ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah
Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan.
Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat
armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa
penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian
dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja
Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut,
lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di
Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan
Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara
Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai
Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi.
Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau
dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah
mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan
Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara.
Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan
laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana
Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus
kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong
Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara
ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah,
bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan
sebutan Pangeran Sabrang Lor.
B.WALI SONGO Dan PERANNYA
1. Syekh
Maulana Malik Ibrahim (sunan gresik)
Maulana Malik Ibrahim
atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah,
pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandy, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah
menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai
Syekh Maghribi. Sebagian rakyat juga menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara
dengan Maulana Ishaq, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari
Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishaq adalah anak dari seorang ulama
Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, seorang ulama besar Ahlussunnah
bermadzab Syafi’i yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai kuturunan ke-10 dari Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Maulana
Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, Muangthai, lalu Kamboja selama 13 tahun
sejak tahun 1379. Ia menikahi putri raja Campa yang bernama Dewi Candrawulan,
yang memberinya dua putra, yaitu Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan
Sayyid Ali Murtadha alias Raden Santri. Tahun 1392 Maulana Malik Ibrahim hijrah
ke pulau Jawa.
Dalam
berdakwah, Maulana Malik Ibrahim menggunakan cara yang bijaksana dan strategi
yang tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pen1gajaran yang
baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl:125)
Di Jawa, Syekh Maulana Malik Ibrahim bukan hanya
berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap
mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat,
juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan
musyrik.
Dari huruf-huruf Arab yang ada di batu nisannya
dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal,
penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli
tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau
terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada
golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan yang tertulis di makamnya adalah “Inilah
makam almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran,
sendi para sultan dan para menteri, penolong para fakir dan miskin, yang
berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol agama dan negara, Malik Ibrahim
yang terkenal dengan Kakek Bantal, Allah meliputinya dengan rahmat-Nya dan
keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12
Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli
pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian
rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya
dengan daun-daunan tertentu. Beliau juga yang mempunyai gagasan mengalirkan air
dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk.
Sifat lemah lembut, welas asih, dan ramah tamah
kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya
terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya
yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat
jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan
Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah,
agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada yang memberikan rezeki, yaitu Allah
Subhanahu wa ta’ala.
Di kalangan rakyat jelata, Syekh Maulana Malik
Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana
diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta: kasta Brahmana,
Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut, kasta Sudra adalah
yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi.
Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di
dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh Maulana
Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat.
Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak
dibeda-bedakan. Di hadapan Allah, semua manusia adalah sama, yang paling mulia
di antara mereka adalah yang paling takwa kepada-Nya.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal
dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka sudah dibela dan dikembalikan
haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong
masuk Islam dengan suka cita.
Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah
bersama-sama dan mengaji. Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya
dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh
Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan
Islam, tempat mendidik, dan menggembleng para santri sebagai calon
mubaligh.
Syekh Maulana Malik Ibrahim juga mengajak Prabu
Brawijaya, raja Majapahit, untuk masuk Islam. Namun Prabu Brawijaya bersikeras
mempertahankan agama lama.
Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang wali yang
dianggap sebagai ayah dari Wali Songo. Selesai membangun pesantren, beliau
wafat di Gresik pada tahun 822 H atau 1419 M. Makamnya kini terdapat di Kampung Gapura,
Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan
Ampel
Sunan Ampel bernama Raden Ali Rahmatullah ialah putera
tertua dari Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan
Kudus, di masa kecilnya Sunan Ampel dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir
di Campa pada 1401 M. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat di
mana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampeldenta, wilayah yang kini
menjadi bagian dari Surabaya (Kota Wonokromo sekarang).
Pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit
ke negeri Campa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit untuk
mengatasi kemerosotan budi pekerti para adipati yang tak loyal lagi kepada
keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi, dan kebiasaan
buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi
serta mabuk-mabukan.
Sunan Ampel datang ke tanah Jawa bersama ayah dan
adiknya, yaitu Sayyid Ali Murtadha. Mereka singgah dulu ke daerah Gresik.
Ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit
dan meninggal dunia, Sayyid Ali Murtadha kemudian meneruskan perjalanan, beliau
berdakwah keliling daerah Nusa Tenggara, Madura, dan sampai ke Bima. Di sana,
beliau mendapat sebutan Raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik
mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid
Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap
Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati (bibinya sekaligus adik Dewi
Candrawulan yang dipersunting oleh Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit).
Sunan Ampel dijodohkan dengan salah satu putri
Majapahit yang bernama Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila. Dari
pernikahannya itu, beliau dikaruniai beberapa putra dan putri. Di antaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Selanjutnya, pada hari yang ditentukan
berangkatlah rombngan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian
disebut sebagai Ampeldenta.
Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo
terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan, beliau juga berdakwah
kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali beliau
lakukan cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari
akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagikan
kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarnya
dengan kalimat syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu sangat senang.
Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang
dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena
penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu, semakin banyak orang yang
berdatangan kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pada saat demikianlah ia
memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Desa
Kembangkuning masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan
karomahnya, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat
shalat sederhana atau langgar. Tempat shalat tersebut sekarang telah dirubah
menjadi masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan dengan nama Raden Rahmat
yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan
berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang
Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi
pengikut Raden Rahmat.
Dengan adanya
kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk
mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat
yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang
mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya
ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid, maka secara otomatis
mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan
ajaran Islam.
Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran
Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
Ajaran beliau yang terkenal adalah falsafah Moh
Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau tidak mau berjudi.
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau
bermabuk-mabukan.
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri.
4. Moh Madat atau tidak mau menghisap candu,
ganja, dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau berzina/main
perempuan yang bukan istrinya.
Prabu Brawijaya sangat senang
atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran
budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mngumumkan ajarannya
adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika
dia diajak memeluk agama Islam, ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Hindu yang
terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah
Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak
boleh dipaksa. Raden Rahmat pun menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam
beragama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan
Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai mufti atau pemimpin agama
Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri yang juga
anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, dan Sunan
Gunungjati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi
anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal
dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain
tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan
dengan pihak Majapahit.
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama
sangat berhati-hati , hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad.
Seperti yang pernah tersebut dalam permusayawaratan para Wali di Masjid Agung
Demak. Pada waktu itu Sunan Kaljaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti
selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel,”Apakah
tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istadat dan upacara lama itu
nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini
dibiarkan, nantinya akan menjadi bid’ah.”
Dalam
musyawarah itu, Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju dengan
pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lamayang masih bisa diarahkan
kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat dan
kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita
tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa
memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang
kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang
hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut
sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada
benarnya yaitu agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti,
dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat
ditolerir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk
agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dulu dan sedikit
demi sedikit mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman
mereka.
Sebaliknya, adanya
pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disyiarkan dengan murni dan
konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat
semakin berhati-hati menjalankan syari’at agama dengan benar dan bersih dari
segala macam bid’ah. Inilah jasa
Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah
menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
3. Sunan Giri
Ø Syekh Maulana
Ishak
Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu
Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya beragama Hindu dan ada sebagian yang beragama
Budha.
Pada suatu hari, Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula
permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama
beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati
tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada
waktu itu Kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit.
Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit
sorenya meninggal. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka-cita, dan hampir
semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri, Prabu Menak Sembuyu kemudian
mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu
dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat
sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri.
Sehari, dua hari, seminggu, bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun
yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara tersebut.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu
berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari
petapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya
yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang
dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi
di negeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana
Ishak yang sedang bertafakur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi
bahwa raja dan rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka
Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di
bidang ilmu ketabiban, Putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk
juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji raja maka Syekh Maulana Ishak
dinikahkan dengan Dewi Sekardadu dan diberi kedudukan sebagai Adipati untuk
menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Ø Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana menjadi Adipati baru di
Blambangan. Makin hari semakin banyak saja penduduk Blambangan yang masuk
Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang
Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu menjadi panas
mengetahui hal ini.
Tanpa sepengetahuan Prabu Menak Sembuyu, Patih Bajul Sengara
sudah mengadakan teror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit
penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa, dan
dipaksa untuk kembali pada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara
rahasia dan sembunyi-sembunyi, akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu, Dewi Sekardadu sedang hamil 7 bulan.
Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan
darah yang seharusnya tidak perlu. Maka beliau segera pamit kepada istrinya
untuk pergi meninggalkan Blambangan.
Demikianlah pada tengah malam, dengan berat hati Syekh
Maulana Ishak pergi meninggalkan istri yang dicinta. Esok harinya sepasukan
besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
mengobrak-abrik Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua bulan kemudian, Dewi Sekardadu melahirkan bayi laki-laki
yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisuri merasa
senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya. Bayi itu lain daripada yang lain,
karena wajahnya bercahaya.
Namun Patih Bajul Sengara tetap menghasut Prabu Menak Sembuyu.
Akhirnya, Prabu Menak Sembuyu memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara
langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan
diperintahkan untuk dibuang ke samudra.
Ø Joko Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik
melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah selat Bali
tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa
mundur pun tak bisa.
Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab
kemacetan itu, mungkin perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa,
ternyata perahu itu hanya membentur sebuah peti berukir indah, seperti peti
milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda
memerintahkan mengambil peti itu dan membukanya. Ketika dibuka, semua orang
terkejut karena di dalamnya terdapat bayi mungil rupawan.
Kemudian mereka menyerahkan bayi itu kepada Nyai Ageng Pinatih,
seorang janda kaya pemilik kapal nahkoda, untuk dijadikan anak angkat. Karena
bayi itu ditemukan di tengah samudra, maka Nyai Ageng Pinatih memberinya nama
Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih
mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di
Surabaya. Akhirnya Sunan Ampel mengetahui bahwa Joko Samudra adalah putra dari
Syekh Maulana Ishak atau saudara sepupu Sunan ampel. Lalu sesuai pesan Syekh
Maulana Ishak, nama Joko Samudra diganti Raden Paku.
Raden Paku menikahi dua orang perempuan, yaitu Dewi
Murtasiah, putri Sunan Ampel dan Dewi Wardah, putri Ki Ageng Bungkul, seorang
bangsawan Majapahit.
Ø Cara dakwah Raden Paku
Beliau
berdakwah dengan cara sambil berlayar beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepualuan Nusantara.
Lama-kelamaan kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Raden Paku
bertafakur di goa yang sunyi, hanya bermunajat kepada Allah di desa Kembangan
dan Kebonmas.
Beliau
mendirikan pesantren di desa Sidomukti, pesantren itu dinamakan Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Ø Peresmian Masjid Demak
Dalam
peresmian Masjid Demak, Sunan kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan
pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentunya masih wayang beber yaitu
gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga itu
ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram
hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak
itu dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat
berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, sedangkan Sunan Giri atau
Raden Paku mengusulkan Masjid Demak diresmikan pada hari Jumat sembari melaksanakan
shalat Jumat berjamaah.
Akhirnya, Sunan
Kalijaga mengubah bentuk wayang kulit menjadi lebih mirip karikatur seperti
yang ada sekarang ini. Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka
Sunan Giri menyetujui wayang kult itu digunakan sebagai media dakwah.
Ø Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang
terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa
bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil
berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan
Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham
Pantheisme dan merehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam,
antara lain Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Di antara
permainan anak-anak yang dicintainya adalah sebagai berikut.
Di antara
anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek
buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada
tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan
yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah
berpegang teguh pada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan
atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari
melakukan permainan tersebut, biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang
Bulan:
“padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing
latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nudhung begog hangetikar.”
(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di
halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari
terbirit-birit.)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah agama Islam telah datang, maka marilah kita
segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari
agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
4.Sunan Bonang
Sunan Bonang bernama asli Syekh
Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering
disebut Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang
Pangeran Majapahit.
Sewaktu masih remaja, Radem Makdum
Ibrahin dan Raden Paku meneruskan pelajaran agama Islam di Pasai. Mereka belajar
kepada Syekh Awalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri atau Raden Paku,
yaitu Syekh Maulana Ishak.
Ø Metode dakwah Sunan Bonang
Dalam berdakwah, Raden Makdum Ibrahim ini
sering menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang
ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak
maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden
Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran Islam. Sehingga tanpa
terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan
paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini
sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan bonang dalam berdakwah maka
masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
Ø Karya sastra Sunan Bonang
Beliau juga menciptakan karya sastra
yang disebut suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang dianggap sebagai
karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama.
Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab,
yaitu salakattariiqa artinya menempuh jalan (tasawuf) atau
tarikat. Ilmunya sering disebut ilmu suluk. Ajaran yang biasa disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara
biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525.
Makamnya yang dianggap asli adalah yang berada di Kota Tuban sehingga sampai
sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga memiliki nama asli
Raden Said. Beliau putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Beliau lahir
sekitar tahun 1450 M.
Raden Said pernah berguru
kepada Sunan Bonang. Raden Said terkenal dengan nama Sunan Kalijaga. Kalijaga
artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai.
Ø Metode dakwah Sunan Kalijaga
Dalam berdakwah, beliau mempunyai pola
yang sama dengan guru sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung mengikuti para sufi. Ia juga menggunakan kesenian dan
kenbudayaan sebagai sarana untuk memudahkan dakwah.
Beliau sangat memperhatikan budaya lokal
masyarakat. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Ada pihak yang berpendapat seolah Sunan
Kalijaga menggabungkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain
(sinkretisme), Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai suara dakwah. Beliaulah uang menciptakan
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
6.Sunan Kudus
Sunan
Kudus bernama asli Ja’far Shadiq, putra Raden Usman Haji yang bergelar Sunan
Ngudung dari Jipang Panolan dan Syarifah (adik Sunan Bonang). Di
sampingbelajar agama kepada ayahnya sendir, Raden Ja’far Shadiq juga belajar
kepada beberapa ulama terkenal, di antaranya Kiai Ageng Telingsing, Ki Ageng
Ngerang, dan Sunan Ampel. Nama asli Kiai Ageng Telingsing adalah The Ling
Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa
bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo.
Ø Metode dakwah Sunan Kudus
a. Strategi pendekatan kepada massa
· Membiarkan dulu adat istiadat
dan kepercayaan lama yang sukar diubah.
· Bagian adat yang tidak sesuai
dengan dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
· Tut Wuri Handayani, artinya
mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan
untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri
Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
· Menghindarkan konfrontasi
secara langsung dalam menyiarkan agama Islam
· Pada akhirnya boleh saja
merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tidak
sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum
Abangan atau Aliran Tuban. Sedangkan pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan
Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
b. Merangkul masyarakat Hindu
Di Kudus waktu itu
penduduknya banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk
Islam tentu bukan pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk
kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak
sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Shadiq harus berjuang
menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan
Kudus atau Raden Ja’far Shadiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut
Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari India. Sapi itu ditambatkan di
halaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang
kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan
dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu
adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan
dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Setelah jumlah penduduk
yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari rumahnya dan
berkata,”Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,
saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di
waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati
kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar ceria
tersebut, para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden
Ja’far Shadiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan
ceramahnya. Masyarakat makin tertarik, ketika mendengar ceramah dari Sunan
Kudus bahwa di dalam Al Qur’an terdapat surah Al Baqarah yang artinya sapi.
Mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering
datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Bentuk masjid yang dibuat
Sunan Kudus pun tak jauh beda dengan candi-candi milik orang Hindu. Demikianlah,
setelah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
c. Merangkul
masyarakat Budha
Setelah masjid berdiri,
Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah
delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya.
Hal ini disesuaikan dengan ajaran agama Budha “Jalan berlipat delapan” atau
“Asta Sanghika Marga” yaitu:
1.Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2.Mengambil keputusan yang benar.
3.Berkata benar.
4.Hidup dengan cara yang benar.
5.Bekerja dengan benar.
6.Beribadah dengan benar.
7.Menghayati agama dengan benar.
Dengan usaha ini, banyak
umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha
itu di padasan. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
d. Selamatan mitoni
Seperti diketahui,
rakyat Jawa banyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga,
selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan
upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau
mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga
dan Sunan Muria.
7.Sunan Drajad
Sunan Drajad memilik nama asli
Raden Qasim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik
dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qasim diperintah ayahnya
untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar
antara Tuban dan Gresik.
Kemudian Raden Qasim membangun
tempat dakwah yang strategis yaitu di bukit Dalem Duwur, yang sekarang dibangun
museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat museum
tersebut.
Ø Metode dakwah Sunan Drajad
Raden Qasim adalah pendukung aliran
putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama
Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur
dengan adat dan keperceyaan lama. Meski demikan, beliau juga menggunakan kesenian
rakyat sebagai alat dakwah.
Ajaran Sunan Drajad yang terkenal,
yaitu bersumber dari:
1.Al qur’an
2.Sunnah
3.Ijma’
4.Qiyas
5.Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau orang tuanya.
6.Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat.
7.Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai ajaran Islam.
8.Fatwa Sunan Drajad sendiri.
8.Sunan Muria
Sunan Muria memilki nama asli Raden
Umar Said. Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Dalam
berdakwah, beliau menggunakan cara halus. Tempat tinggal beliau di Gunung Muria
yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara Kota Kudus.
Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata.
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan
wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam.
9.Sunan
Gunungjati
Sunan Gunungjati memiliki nama asli
Syarif Hidayatullah. Beliau adalah putra pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim
dari Palestina, Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda dengan Syarifah
HidayatMudaim, seorang putri raja Pajajaran.
Syarif Hidayatullah meneruskan usaha
Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga Syarif Hidayatullah
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Dalam menyebarkan agama Islam di
Jawa, beliau tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota
wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
Dalam berdakwah, Sunan Gunungjati
menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun beliau juga mendekati
rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu
agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke
berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kesultanan Pakungwati. Dengan demikian Sunan Gunungjati merupakan
pemimpin pemerintahan.
PENUTUP
KESIMPULAN:
Dalam uraian di atas maka dapat disimpulkan:
1 wali songo
adalah penyebar agama islam di indonesia yang banyak membuat perubahan bagi umat muslim di indonesia
2 . Didalam penyebaran agama islam, banyak sekali tantangan dan hambatan yang
dialami demi tegaknya agama yang benar dan sesuai dengan syari’at
agama islam.
3. Didalam
berdakwah, para walisonga banyak yang menggunakan peralatan tradisioanal
yang sudah terdapat didaerah yang sudah ada dimedan untuk berdakwah.
4. Bahwa
pertama kali muncul adanya walisongo, diawali dari pulau jawa.
5. Dengan
kesabaran dan kekukuhan yang dimiliki oleh para walisongo, mampu mengajarkan
serta menyakinkan ilmu tentang ketauhidan kepada Allah SWT
Keberhasilan islamisasi jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras
walisongo. Proses islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai nyaris
tanpa konflik, baik politik maupun kultural. Meskipun terdapat konflik
sekaligus skalanya sangat kecil, sehingga tidak mengesankan sebagai perang,
kekerasan ataupun pemaksaan budaya, sehingga penduduk jawa menganut Islam
secara sukarela.
SARAN:
Setelah kita mengetahui sekilas tentang peranan ulama dalam
dakwah islam di indonesia khususnya di jawa.Hendaknya kita memahami peranan
penting para ulama yang telah berjuang untuk proses islamisasi kususnya di
tanah jawa ini. Dan tak lupa pula kita senantiasa slalu mendoakan ulama
terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan
Indonesia, (Religi dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2009)
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo
Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009)
Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia,(Jakarta:Majelis
Ulama Indonesia;1991)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada;2007)
http://jainestalugo.blogspot.co.id/2014.