Hanya Hamba Allah SWT

Sabtu, 03 Oktober 2020

Metode Pemahaman Kontekstual Terhadap Hadits Nabi SAW //Habib Syahrul Amin/

 Metode  Pemahaman Kontekstual  Terhadap Hadits Nabi SAW

Habib Syahrul Amin

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam INSURI Ponorogo

Habibsyahrul512@gmail.com

Abstrak

Metode adalah cara yang tertib berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai tujuan. Cara kerja yang tertib dan sistematis agar dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metodologi juga berasal dari kata 'method' yang artinya metode atau teknik, yang juga diartikan sebagai cara tertib digunakan untuk melaksanakan pekerjaan guna mencapai tujuan. Cara memahami hadits adalah cara seseorang memahami atau menafsirkan hadits Nabi. Interpretasi kontekstual adalah metode pemahaman hadits yang dilatarbelakangi oleh munculnya hadits (asbab al wurud) yang berkaitan dengan masa kini. Sedangkan intertekstual atau intertekstual interpretasi adalah metode pemahaman hadits dengan pengamatan sistematis terhadap hadits atau hadits lain yang relevan atau ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait. Dengan batasan atau aturan yang telah ditetapkan.

Kata kunci : Metode, Pemahaman, Kontekstual Hadist Nabi SAW.

Pendahuluan

Hadits merupakan pedoman kedua setelah Al-Qur’an bagi agama Islam. Hadits dikaji, diteliti dan dipahami setelah  wafatnya Rasulullah. Karena Problem berkaitan dengan pemahaman Hadis, muncul setelah wafatnya Nabi. Demikian ini, disebabkan para sahabat dan generasi berikutnya tidak bisa lagi bertanya langsung kepada Nabi. Sehingga mereka berusaha mencari solusi sendiri ketika terjadi kesulitan dalam memahami sabda sabda Nabi.

Dari timbulnya permasalahan yang harus diselesaikan salah satunya dengan sumber Islam yaitu hadits karena hadist merupakan penjelas bagi hukum  Al-Qur’an yang sifatnya umum Kondisi yang demikian memberikan tantangan bagi umat Islam saat ini. Sehingga sejumlah pakar dari kalangan modernis berusaha menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah melalui pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazim disebut aliran “kontekstual” sebagai pelengkap dan pengimbang dari pemahaman tekstual.  Maka dibawah ini akan dibahas metode pemahaman kontekstual hadits nabi.

 

Pengertian Metode Pemahaman Hadits

Metode adalah cara yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud. Cara kerja yang teratur dan bersistem untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah guna mencapai maksud yang ditentukan.[1] Dan pemahaman berasal dari kata “paham” yang berarti pengertian, pendapat atau pikiran, aliran atau haluan pandangan, mengerti benar atau tahu benar, pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal). Sementara pemahaman adalah proses, cara perbuatan memahami atau memahamkan.[2]

Dari pemaparan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa metode pemahaman hadits adalah cara atau teknik teratur dalam proses memahami hadits baik dengan metode kontekstual yang kita bahas pada artikel ini.

Kontekstual diambil dari kata “konteks” yang yang berarti suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya. Dalam bahasa Arab digunakan istilah, alâqah, qarînah, dan siyâq al-kalâm.[3] Kontekstual dalam hal itu adalah suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ada.

Pemahaman Pendekatan Hadist Kontekstual

Menurut Edi Safri hadis kontekstual adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatar-belakangi munculnya.[4] Dengan demikian, asbâb al-wurûd dalam kajian kontekstual merupakan bagian yang paling penting.

Dengan kata lain pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang berusaha mencari makna dibalik sebuah teks atau berusaha menyingkap rahasia-rahasia dibalik teks dengan melalui beberapa pendekatan, baik pendekatan sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain dari cabang ilmu pengetahuan yang ada.

Maka penulis menyimpulkan bahwa pemahaman kontekstual merupakan pendekatan dan pemahaman yang melihat dari latarbelakang sosial, psikologi, kondisi goegrafis  serta kedudukan Nabi ketika hadis itu ditampilkan. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman yaitu: Pertama, arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat temporal. Kedua, memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir teksnya.[5]

Pendekatan kontekstual, menurut Kamaruddin Hidayat, seorang penafsir memposisikan sebuah teks ke dalam sebuah jaringan wacana, hal itu diibaratkan sebuah gunung es, teks adalah fenomena kecil dari puncak gunung yang tampak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit menangkap makna pesan dari sebuah teks.[6]

Secara lebih kongkrit, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstual hadis atau sunnah sebagai berikut:

1.      Jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstual hadis atau sunnah yang lebih luas.

2.      Banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab, dalam hal ini bertanggungjawab untuk melakukan kontekstual hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit di Mina dan sa’i, selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.

3.      Geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis mengenai shalat, masuk bulan puasa, dan sahurnya.

4.      Kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada daulah islamiyah, maka konsekuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap negara di mana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas. Akibatnya konsepsi hadis sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularisme ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau sunnah, misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.[7]

5.      Faktor utama terbukanya kran kontekstual hadis atau sunnah di abad ini adalah serbuan “modernisme” dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap negara. Hal itu akan berpengaruh besar terhadap kehidupan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Misalnya dengan kelahiran HAM,

Namun dalam memahami hadist secara konseptual Secara umum M. Sa‛ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstual meliputi dua hal, yaitu:

1.      Dalam bidang ibadah mahdlah (murni) tidak ada atau tidak perlu pemahaman kontekstual. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah.

2.       Bidang di luar ibadah murni (ghayr mahdlah). Pemahaman kontekstual perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya. Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:

a.       Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide itu ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubjektif.

b.      Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.

c.       Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu„âsyarah bi al-ma‟rûf.

d.       Terkait relasi antara manusia dan tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan di mana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau ber-ibadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangat tergantung pada konteks si pelakunya.

Langka Langkah Kontekstual Hadits

Dari batasan-batasan yang telah dilalui maka langkah-langkah memahami Hadits secara kontekstual sebagai berikut:

a.       Memahami teks-teks hadis atau sunnah untuk menemukan dan mengidentifikasi legal spesifik dan moral ideal dengan cara melihat konteks lingkungan awalnya yaitu: Mekah, Madinah, dan sekitarnya.

b.       Memahami lingkungan baru di mana teks-teks akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya.

c.        Jika ternyata perbedaannya lebih esensial dari persamaannya maka dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, maka nas-nas tersebut diaplikasikan dengan tanpa adanya penyesuaian.[8]

Dari Langkah-langkah tersebut diharapkan sebagai acuan yang harus ditepati, agar tidak sampai terjadi penafsiran liar dan memberikan pendapat hukum yang tidak sesuai, pada akhirnya hadis bisa dibawa kemana angin bertiup, artinya mengikuti kepentingan manusia yang bersumber dari hawa nafsu.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Metode pemahaman hadis adalah cara yang ditempuh seseorang untuk memahami atau menafsirkan hadis Nabi saw. Interpretasi kontekstual adalah metode memahami hadis berdasarkan latar belakang munculnya hadis (asbab al wurud) yang dikaitkan dengan masa kekinian.  Dan dengan tetap dalam ketetapan yang telah ditetapkan dan harapkan sebagai acuan yang harus ditepati, agar tidak sampai terjadi penafsiran liar dan memberikan pendapat hukum yang tidak sesuai, pada akhirnya hadist bisa dibawa kemana angin bertiup, artinya mengikuti kepentingan manusia itu sendiri.

Daftar Rujukan

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa).

Muhammad Asriady. . 2017. Metode Pemahaman Hadis, ”Ekspose  Vol 16 No 1,( Januari-Juni).

 

Liliek Channa. 2011.  Memahami  Makna Hadis  Secara Tekstual Dan Kontekstual, Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember.

 

Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟i. 1990. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Tesis (Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,).

Ramli Abdul Wahid. 2015. Perkembangan Metode Pemahaman  Hadis Di Indonesia, (Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2.

 

Hamim Ilyas. 2002. “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,).

 



[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 952.

[2] Muhammad Asriady, Metode Pemahaman Hadis, ”Ekspose  Vol 16 No 1,( Januari-Juni  2017), hal 315

[3] Liliek Channa, Memahami  Makna Hadis  Secara Tekstual Dan Kontekstual, Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011, hal 396

[4] Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Tesis (Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1990), 160.

[5] Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Metode Pemahaman  Hadis Di Indonesia, (Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2, 2015: 231-243

[6] Liliek Channa AW,Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume XV Nomor 2 (Desember 2011), 396

[7] Hamim Ilyas, “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 176.

[8] Liliek Channa, Memahami  Makna Hadis  Secara Tekstual Dan Kontekstual, Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011, hal  410-412

Tidak ada komentar:

Posting Komentar